21 Desember 2016, bisa dibilang menjadi tanggal teraneh bagi
para insan publik dunia. Gimana ga aneh coba? Setiap mereka membuat pos di
media sosial, mayoritas netizen mengomentari pos mereka dengan 3 kata yang
terus menerus dipakai secara terstruktur, terencana, dan masif (ga terencana
sih sebenernya). 3 kata yang bahkan ketiganya tidak tertulis dalam kamus Oxford
sekalipun. 3 kata yang cukup membuat heran DJ (disk jookey) dunia, artis
internasional, klub-klub sepakbola, bahkan pengusaha besar yang baru saja
terpilih menjadi pupuhu (Sunda: ketua
atau pemimpin) di negeri Paman Sam. 3 kata tersebut adalah “Om Telolet Om”
Jika ditelusuri dari sejarahnya, 3 kata ini berawal dari
kebiasaan anak-anak di jalur Pantura meminta kepada supir bus AKAP (Antar Kota
Antar Provinsi) yang melewati jalan tersebut untuk membunyikan klakson di
busnya yang memiliki irama yang unik. Anak-anak tersebut menerjemahkan bunyi
unik tersebut menjadi sebuah kata benda baru, yang bahkan belum masuk dalam
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Telolet. Sangking niatnya, mereka sampai
membuat tulisan di papan yang diberi pegangan atau di karton, yang bertuliskan
“Om Telolet Om”. Dimana nantinya saat “telolet” tersebut dibunyikan, anak-anak
tersebut merekamnya menggunakan handphone mereka dan selanjutnya dibagikan
melalui media sosial.
Sebenarnya hal yang sama juga dilakukan oleh orang-orang
yang bergabung dalam komunitas pencinta bus, atau istilah kerennya “Busmania”.
Mereka sering memotret bus-bus yang desain eksteriornya menarik. Bahkan, ada
yang sampai memotret interior dari bus tersebut. Yah, mirip-mirip sih dengan
yang dilakukan oleh pencinta kereta api, atau istilah kerennya “Railfans”.
Bedanya, kalo Railfans kadang sering diajak oleh penyedia jasa kereta api
resminya (baca: PT KAI) untuk membantu dalam pelayanan jasa transportasi ini
ketika jumlah penumpang sedang mengalami kenaikan, sedangkan Busmania sering
mendapat “imbalan” (atau apa yah lebih tepatnya, mungkin Anda bisa memberi saran melalui fitur komentar di bawah)
atas jasanya mempromosikan armada bus yang dikelola oleh PO dengan membunyikan
klakson “telolet” tersebut. Dimana “telolet” tersebut direkam oleh Busmania ini
dan selanjutnya dibagikan di forum mereka di media sosial yang kadang juga
dibagikan ke netizen lainnya. Hmmm saya jadi kepikiran, apakah yang dilakukan oleh kedua pencinta
transportasi publik ini adalah promosi terselubung? Bagi saya sih tidak, karena
itu bisa menjadi promosi ga langsung yang berimbas juga pada jumlah pengguna
transportasi publik tersebut. Perusahan penyedia transportasi senang,
pencintanya pun ikut senang. Win-win
solution, right?
Udah ah, saya ga bakal banyak bahas sejarah “telolet” di pos
ini. Takutnya saya malah gagal move on dari mantan saya (apa hubungannya
coba?). Di zaman serba maju ini, Anda bisa menanyakan soal sejarah telolet ini
kepada Mbah Google. Saya aja sebelum buat pos ini, bertanya dulu kok pada
beliau. Tentu saja dengan memberi pengorbanan berupa kuota internet sebesar
puluhan megabyte. Sekarang kita mulai sedikit serius. 3 kata viral tersebut
jika diubah ke dalam bentuk kalimat yang baik dan benar menurut buku pelajaran
Bahasa Indonesia kelas 2 SD, akan menjadi seperti ini: “Om, kami menginginkan
telolet itu dibunyikan!”, atau yang lebih baiknya lagi “Om, kami menginginkan
klakson bus yang Om kemudikan untuk dibunyikan dengan suara unik!” Panjang
banget kan? Jadi, memang lebih baik untuk menyingkat kalimat yang panjangnya
sudah bisa mengalahkan nama seorang pemuda asal Afrika yang terkenal itu dengan
3 kata sakti mandraguna yang mungkin bisa mengalahkan kapak 212-nya Wiro
Sableng.
Berhubungan dengan sejarah yang saya tulis di awal,
video-video yang dibagikan oleh “kolektor” telolet tersebut semakin lama
semakin diminati oleh netizen. Tau sendiri, apapun yang menarik perhatian bagi
netizen kita, bakal langsung dibagikan ke netizen lainnya tanpa pikir panjang,
termasuk berita hoax. Sama seperti hoax, dimana kecepatan penyebarannya
dikabarkan bisa mengalahkan kecepatan cahaya, video-video “telolet” tersebut
menjadi viral kemana-mana. Dan netizen pun mulai membuat semacam parodi dari
video-video tersebut dengan menjadikannya sebagai bahan eksis di dunia maya,
dengan cara mengomentari pos-pos media sosial para insan publik dengan 3 kata
sakti, “Om Telolet Om”. Itu kenapa saya tidak yakin bahwa spamming yang dilakukan oleh netizen menggunakan 3 kata sakti
tersebut ga terlalu terencana, karena memang sifat dari media sosial itu
sendiri yang bisa membuat kita menyimpulkan bahwa “apapun bisa terjadi di
sana”.
 |
Posting Mashmello yang captionnya ada "Om Telolet Om" (Sumber: Google Gambar) |
Dalam menyikapi fenomena “Om Telolet Om” ini, insan publik
dunia dan Indonesia yang tertimpa
spam
“telolet” tersebut melakukannya dengan berbagai cara. DJ Marsmellow dengan
gambar dirinya sedang duduk di kursi supir bus dengan caption 3 kata sakti itu;
Firebeatz yang membuat video kompilasi dari video-video telolet di internet,
yang tentu saja dikemas dalam bentuk EDM (
Electronic
Digital Music); klub-klub sepakbola Eropa yang membagikan video armada bus
mereka membunyikan klakson yang sebenernya bukan klakson “telolet”; Kang Emil
dengan foto di akun Instagramnya yang mengandung caption
anti “telolet”-nya
(Sayangnya, captionnya ini kurang ampuh hehe); hingga vokalis Superman is Dead
sekaligus aktivis yang mengkritik viralnya fenomena telolet ini di tengah masih adanya
masalah yang lebih penting untuk diperjuangkan kebenarannya. Tunggu, kok ada yang mengkritik? Mari kita bahas di paragraf selanjutnya.
Di kalangan netizen, fenomena ini tak semuanya ditanggapi
positif. Dari artikel yang saya baca di
BBC Indonesia, ternyata ada beberapa
netizen di luar Indonesia yang terganggu dengan fenomena ini. Lalu, vokalis
Superman is Dead sampai iri akan fenomena telolet yang menjadi viral ketimbang isu reklamasi di Bali yang sedang dia
perjuangkan bersama rekan seperjuangan dan beberapa hari terakhir ini upayanya dalam memperjuangkan penyelesaian isu tersebut dibalas oleh beberapa netizen dengan cara “membunyikan” telolet. Di dunia maya pada umumnya, saya menemukan ada beberapa orang yang menganggap bahwa fenomena 3 kata sakti mandraguna ini berkaitan dengan
konspirasi yahudi dan hindu.
Dari 3 paragraf sebelum paragraf ini, sebenarnya kita sudah
bisa menyimpulkan bahwa salah satu penyebab dari meledaknya fenomena ini karena
kebiasaan “asbun” (asal bunyi) netizen kita di media sosial. Asal bunyi yang
dilakukan karena keinginan seseorang untuk eksis di dunia maya. Netizen kita
menggunakan ketenaran insan publik untuk eksis dengan bermodalkan 3 kata sakti
tersebut. Dan ketika semakin banyak orang yang melakukan hal tersebut, kita
semua bereuforia. Meskipun sebenarnya, hal yang sama juga mungkin dilakukan
oleh netizen di negara lainnya. Cuma sayanya aja yang mainnya kurang jauh
hehehe.
Sebenarnya kebiasaan asal bunyi ini juga sering kita temui
di jagat maya, bahkan intensitasnya lebih banyak di akhir tahun ini. Asal
berpendapat tanpa adanya data dan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Asal
mengkomentari sesuatu tanpa memerhatikan etika sosial, hingga muncul kata
kasar. Beberapa netizen beralasan, bahwa hal yang mereka lakukan itu hanya
sekedar iseng belaka atau ada juga yang beralasan kebebasan berpendapat. Jika
ditegur, dibilang mengancam kebebasan berpendapat. Duh, come on guys, kebebasan
berpendapat itu ga sebebas yang kalian kira. Media sosial merupakan tempat
publik yang hadir secara “virtual”. Jadi, kita pun juga harus menggunakan etika
dalam ber-media sosial selayaknya ketika kita berada di tempat umum. Semua hal
tersebut bisa terjadi akibat kurangnya edukasi penggunaan media sosial di
masyarakat kita.
Apa bukti bahwa netizen kita ada yang asbun? Saya mengambil
contoh dari kasus desain uang baru negara kita yang “katanya” sama dengan
desain uang di negara Tiongkok. Dimana orang yang berpendapat demikian memiliki
alasan karena pemilihan warna, tata letak, dan penggambaran dari tokoh pahlawan
yang disematkan di uang baru tersebut, sama dengan yang ada di uang negara yang
terkenal dengen tembok besarnya ini. Sebuah alasan yang hanya berlandaskan
cocoklogi semata. Namun, lihat saja komentar dari netizen lainnya. Ada yang
mengomentarinya dengan kata kasar ke etnis tertentu, ke presiden, dikaitkan
dengan penjajahan asing, dan lain-lain. Duhhh gustiii ):
Lalu, bagaimana caranya kita dalam menyikapi fenomena “telolet”
yang sudah terlanjur populer ini? Saran saya sih, nikmati aja dan biarkan itu
menghilang sendiri. Fenomena ini pasti lambat laun akan menghilang dengan sendirinya
kok. Siapa yang tak ingat ketika fenomena Keong Racun yang dipopulerkan oleh
duet mahasiswi asal Bandung, Sinta dan Jojo? Sekarang apa kabar fenomena
internet Indonesia itu
sekarang? Cukup dijawab oleh diri sendiri saja.
 |
Salah satu spammer telolet yang dikritik oleh netizen luar Indonesia (Sumber: BBC Indonesia) |
Namun yang perlu dicermati, kita juga harus mulai belajar
etika dalam menggunakan media sosial. Etika yang ssebenarnya hampir sama dengan
etika sosial yang sudah kita pelajari dari masyarakat di dunia nyata. Terdengar
sepele sih. Tetapi jika disepelekan oleh banyak orang, maka efeknya akan sangat
besar. Liat saja riuhnya media sosial akhir-akhir ini. Saya ga bakal komentarin
hal itu, karena kita lagi bahas telolet, bukan bahas yang lain.
Gunakan euforia telolet ini dalam kondisi dan waktu yang
tepat. Kembali ke contoh netizen yang mengkritik fenomena ini. Musisi Superman
is Dead mengatakan, bahwa ada beberapa netizen yang mengkomentari perjuangannya
dalam mengangkat isu reklamasi di Bali melalui media sosial dengan 3 kata sakti
tersebut. Kalo saya jadi dia pun, pasti rasanya ga enak banget. Nyesss banget
dehh ):
Selain itu, kita harus paham bahwa dunia maya itu bukan
hanya milik Indonesia, tapi juga warga dunia. Adanya komentar dari netizen luar
Indonesia terhadap spammer telolet di media sosial cukup membuktikan bahwa
bereuforia akan sesuatu ada batasnya. Bereuforia di media sosial boleh, tetapi
kita juga harus membatasi diri.
Saya tutup pos ini dengan menuliskan sebuah peribahasa.
“Cupak sepanjang betung, adat sepanjang jalan,” yang artinya bisa kalian
tanyakan pada Mbah Google. Ga perlu lah untuk menanyakan arti dari peribahasa
tersebut melalui pesan pribadi saya, baik melalui Path, Pinterest, ataupun
Friendster. Bukan tak mau, tetapi saya memang ga punya akun ketiga media sosial
tersebut. Oh iya, jika pos ini masih ada kekurangan, saya mohon maaf karena
saya juga punya kekurangan dan saya harap Anda memberitahu kekurangan pos ini
kepada saya. Kritik dan saran, sangat saya butuhkan dari Anda sebagai pembaca.
Udah ahh, saya mau melanjutkan menghibur diri dengan video-video telolet di
Youtube. Ommm Telolet Ommm!!! ((=
Labels: Teknologi, Teropong