Bisa dibilang, ini adalah pertama kalinya saya membuat
artikel yang berhubungan dengan kuliner. Inspirasi artikel ini berawal dari
teman kampus saya yang lagi “ngidam” Aice, sebuah merek es krim yang lagi ramai
dibicarakan di media sosial. Sampai, dia bela-belain untuk mencari warung atau
toko yang menjual es krim ini di sekitar kampus. Walaupun hasilnya nihil. Cara
pemasaran Aice yang tidak seperti merek es krim yang biasa kita temui di
minimarket dan mayoritas toko kelontong, membuat pencarian toko yang menjual es
krim Aice ini menjadi sebuah cerita yang menarik. Jika sudah dapat, rasanya
akan sama seperti saat kita berhasil memperebutkan kue wafer coklat dalam
kaleng Khong Guan yang hanya ada 1 buah dalam 1 kalengnya. Yup, rasa bangga
karena berhasil menemukan sesuatu yang langka.
Singkat cerita, akhirnya teman saya ini menemukan toko yang
menjual es krim Aice. Tapi bukan di kawasan sekitar kampus, melainkan di
kampung halamannya. Beruntung, karena rumahnya di kampung halaman dekat dengan
toko tersebut. Alhasil, sekarang dia ga usah pergi berkeliling lagi hanya untuk
mencari es krim Aice ini.
Lain cerita, ketika saya sedang berkeliling kawasan Teras
Cihampelas saat H-1 peresmiannya. Setelah puas menikmati arsitektur “teras”
ini, saya pun turun melewati tangga yang posisinya dekat dengan Ciwalk
(Cihampelas Walk). Baru saja melangkah beberapa langkah dari tangga, mata saya
terfokus pada sebuah freezer yang memajang logo Aice di depan sebuah toko kaos.
Iya, Anda tidak salah baca, toko kaos. Ga salah nih toko kaos jualan es krim?
Lalu, timbul sebuah pertanyaan besar dalam diri saya. “Apa
sih yang buat Aice ini hits banget?” Mungkin pertanyaan yang sama pun terlontar
dalam pikiran Anda saat mendengar kata “Aice”. Untuk menjawab rasa penasaran
saya tersebut, saya pun bergegas menghampiri toko kaos tersebut. Yang pasti
saya tidak membeli kaos di toko tersebut, walaupun toko itu menjual kaos.
Ketika saya menghampiri freezer Aice, penjaga toko pun mendatangi saya dan
mulai menawarkan es krim Aice yang mungkin baru saja dijualnya beberapa bulan
yang lalu. Dia seakan tahu bahwa es krim ini sedang banyak yang mencari, sampai
dia bela-belain menunda “main HP”-nya untuk menawarkan es krim.
Sayang, ketika saya melihat freezernya, tidak ada es krim
dengan rasa yang jadi bahan obrolan, yaitu rasa jagung dan semangka. Mata saya
tertuju pada 2 rasa es krim yang lain, es krim rasa susu melon dan rasa coklat
vanilla (CMIIW, yang jelas ada tulisan “Bingo” di situ.). Hal menarik dari es
krim ini adalah harganya. Untuk 2 es krim yang menjadi pilihan saya di awal,
sama-sama memiliki harga Rp 2.500,- / buah. Weww, harganya bisa setengah harga
es krim yang biasa di minimarket! Mendengar harganya yang cukup murah, saya
sempat terpikir untuk membeli dua-duanya. Namun sayang, uang di saku saya
tinggal Rp 3.000,- ditambah ongkos pulang. Akhirnya, si Bingo harus mengalah
pada susu melon. Saya pun membayar es krim yang saya pilih dan segera mencari
tempat duduk agar saya bisa menikmati es krim ini
Sekilas, tidak ada yang spesial dengan es krim tersebut. Di
luar ada lapisan warna hijau dan di dalamnya ada lapisan warna hijau muda
(sebenarnya agak putih sih). Mungkin saja itu untuk membedakan rasa susu dan
melonnya. Ketika saya menikmatinya, entah mengapa saya malah teringat dengan es
potong yang biasa dijual menggunakan gerobak. Mungkin perasaan itu karena saya
memilih rasa es krim yang juga tersedia di gerobak es potong. Teksturnya lembut
dan rasa susunya terasa. Mengingat harganya yang hanya Rp 2.500,-, bagi saya es
krim ini memiliki kualitas yang sebanding dengan es krim minimarket, bahkan
bisa lebih dari itu. Karena sering kali saya menemukan es krim yang biasa
dijual di minimarket rasa penambahnya jauh lebih terasa ketimbang rasa susu sebagai
bahan utama es krim.
Namun, pertanyaan selanjutnya muncul, kenapa es krim ini
bisa murah? Dan mengapa hanya dijual di tempat tertentu saja dan bisa dijual di
tempat yang tidak biasa, seperti toko kaos tempat saya membeli barusan? Setelah
es krim yang saya beli sudah habis, saya melihat bungkus dari es krim tersebut.
Saya baru tahu bahwa ternyata es krim ini adalah impor dari Tiongkok dan
dipasarkan untuk Indonesia dan Vietnam (Saya baru saja mendapat info dari teman
Facebook saya bahwa tidak semua produk Aice adalah produk impor. Dia mengatakan
bahwa es krim Aice rasa nanas, yang juga ada di freezer toko kaos tersebut,
ternyata dibuat di Bekasi). Saya tidak terlalu mengerti urusan ekonomi. Faktor
yang membuat harga Aice ini murah mungkin juga berlaku pada produk impor dari
Negeri Tirai Bambu lainnya.
Mengenai cara pemasarannya, yang saya baca dari website
distributor Aice di Indonesia, mereka menerapkan sistem yang hampir sama dengan
produsen es krim lainnya. Orang yang mau menjadi agen diberikan fasilitas berupa
freezer (entah diberikan secara gratis atau tidak). Tetapi, yang membuat saya
penasaran, tertulis pada salah satu blog reseller Aice, harga es krim yang ada
di pasaran ini adalah harga promosi. Hmm, hal ini mengingatkan saya dengan
layanan transportasi online, seperti GO-JEK, Grab, dll, yang mengawali langkah
mereka di Bandung dengan harga promo. Dugaan saya, sepertinya Aice ini menyasar
konsumen kelas bawah hingga menengah ke bawah karena tempat penjualannya lebih
banyak ditemui di warung-warung ketimbang di minimarket.
Populernya Aice saat ini mengingatkan saya dengan merek es
krim yang pernah saya nikmati. Walls, Campina, dan Indoeskrim, ketiga merek
tersebut bisa dibilang sering kita jumpai di pasaran dan juga mewarnai masa
kecil saya. Walaupun, Indoeskrim akhir-akhir ini sedang kurang pemasarannya. Padahal,
ketika saya SD, es krim ini mudah ditemui dimana-mana. Dulu, saya pernah ingin sekali
menikmati es krim Monas yang iklannya pernah tayang di TV. Tau kan es krim
Monas? Itu loh, es krim yang dibentuk mirip monas dengan cone luar yang terbuat
dari plastik dan entah apakah ada cone yang renyah di dalam cone plastik
tersebut. Yah, namanya juga keinginan, jadi masih mengira-ngira hehehe.
Harganya yang jauh lebih mahal dari es krim Indoeskrim lainnya, membuat saya
belum menikmati es krim ini dari dulu hingga sekarang. Sialnya, ternyata
setelah merek Meiji dilepas dan hanya meninggalkan nama merek Indoeskrim,
namanya diubah menjadi Rocks. Apakah bentuk “Monas” yang identik itu sudah
berubah seiring perubahan namanya? Saya belum tahu. Lebih sialnya lagi, sekarang
es krim tersebut seakan menghilang dan pemasarannya tidak semasif ketika saya
kecil dulu. Beruntung, es krim ini katanya masih bisa ditemui di ritel modern
dan toserba. Saat saya membuat artikel ini, keinginan saya tersebut muncul
kembali. Semoga impian saya sejak kecil tersebut bisa terkabul yah hehe.
Selain kenangan yang sudah saya tulis di atas, saya juga
pernah punya pengalaman dengan es krim Conello-nya Walls (sebelum namanya jadi
Cornetto), dimana ketika gigi saya masih bermasalah, saya sering dibelikan es
krim ini sepulang dari dokter gigi sebagai hadiah atas keberanian saya saat
menghadapi alat-alat dokter gigi yang “menyeramkan” itu (Namanya juga anak
kecil bro hehe). Bisa dibilang, kenangan masa kecil saya terhadap es krim
mungkin hanya sedikit. Karena setelah saya beranjak SMP, SMK, sampai kuliah,
saya sudah jarang menikmati es krim. Pernah, walaupun frekuensinya bisa
dihitung dengan jari.
Saya baru tersadar, ternyata pasar es krim di Indonesia
sekarang ini sudah dikuasai oleh 2 merek, yaitu Walls dan Campina. Freezer mereka
selalu mejeng berdampingan di minimarket yang juga sedang menjamur. Kedua
produsen es krim tersebut menggunakan cara pemasaran yang sama untuk menggaet
konsumen. Perbedaannya hanya terlihat dari masif atau tidaknya promosi mereka
di pasaran. Selain itu, kedua merek ini mengincar pasar konsumen menengah
hingga konsumen kelas atas.
Sepertinya, Walls memposisikan diri sebagai dessert yang
hanya bisa dinikmati oleh masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah ke atas
hingga ke atas. Iklan-iklan TV-nya kadang menunjukkan sisi “premium-nya” es
krim ini, dengan menjadikan artis nasional dan internasional menjadi bintang
iklannya. Dukungan Unilever sebagai perusahaan multinasional mungkin membuat
citra Walls sebagai es krim “premium” ini menjadi semakin kentara.
Eitss ingat, Walls juga sering menjadikan anak-anak sebagai
target pemasaran dengan icon Paddle Pop-nya. Harga es krim di bawah naungan
“Macan” ini ada yang lebih murah daripada es krim Walls lainnya. Ditambah,
Walls sering mengeluarkan hal-hal yang bersifat “collectiable” dengan
menggunakan icon Paddle Pop ini agar pelanggan setianya selalu membeli es krim
ini, seperti koleksi sticker tokoh-tokoh Paddle Pop dalam sebuah petualangan. Setiap
ada petualangan baru, Walls mengeluarkan varian rasa baru dalam lini ikon
Paddle Pop. Ahhh, saya bersyukur es krim rasa coklat dan corak pelangi khas
Paddle Pop masih ada sampai sekarang, meskipun petualangan Paddle Pop silih
berganti. Dunia anak memang selalu berkaitan dengan sosok pahlawan pembela
kebenaran dan sosok Paddle Pop merupakan sosok yang tepat untuk mewakili target
pasar Walls terhadap anak-anak, bahkan hingga saat ini.
Cara pemasaran yang sama pernah juga dilakukan oleh Campina.
Masih ingat icon Blue Jack dan duhh siapa sih uth icon ceweknya? Sayang, kedua
icon endorser es krim Campina tersebut kurang mampu untuk menangkis dahsyatnya
kisah petualangan Paddle Pop. Dan ketika iklan Campina tampil di TV, rasanya
baru sekali mereka memakai artis nasional untuk mempromosikan produknya, yaitu
Nikita Willy, yang mempromosikan es krim Concerto, saingannya Cornetto Walls.
Meskipun promonya tidak terlalu masif, setidaknya wajah pemeran sinetron Putri
yang Tertukar RCTI tersebut masih bisa kita temui di freezer-freezer Campina di
minimarket. Ditambah, citra Campina masih baik karena tidak pernah membuat
event yang sampai membuat Bu Risma, Walikota Surabaya, marah besar ketika taman
kebanggaan Surabaya rusak akibat pelaksanaan event tersebut (Eh, di Bandung
juga demikian deng).
Di tengah persaingan Walls dan Campina, ternyata Indoeskrim dan
Diamond tetap bertahan walaupun sekarang ini sedang “merendah”. Merek-merek
baru yang saya sendiri baru dengar pun juga bermunculan, seperti Glico Wings,
Baronet, dan Aice, merek yang saya bicarakan di awal artikel ini. Merek-merek
baru ini seakan memposisikan diri sebagai es krim alternatif untuk melawan
dominasi merek Walls dan Campina di pasar es krim Indonesia, bersama produk es
krim tradisional yang dijual menggunakan gerobak keliling dan produk es krim home
made lainnya.
Eitss, jangan lupakan juga peran es krim keluaran restoran fast
food dalam pasar es krim Indonesia, meskipun es krim keluaran McDonalds
lebih mendominasi ketimbang restoran fast food lainnya. Siapa yang tidak
tahu varian Macha Top yang pernah hits beberapa waktu lalu? Es krim
keluaran restoran fast food bisa bersaing dengan kedua merek mayoritas
karena es krim ini menyentuh konsumen yang ingin menikmati es krim di luar
restoran, dan juga di dalam restoran, hal yang tidak bisa dilawan oleh merek es
krim manapun karena kebijakan restoran yang tidak memperbolehkan pengunjung
membawa makanan dan minuman dari luar restoran.
Jadi, apa yang bisa kita ambil dari artikel ini? Intinya
adalah sekarang ini pasar es krim di Indonesia didominasi oleh 2 merek
terkemuka. Dan beberapa merek dan produk es krim alternatif bermunculan untuk
mengambil pangsa konsumen di bidang es krim, termasuk restoran fast food.
Semua merek dan produk yang bersaing tersebut mempunyai ciri khasnya
masing-masing. Kita sebagai konsumen lah yang menentukan mana es krim yang ciri
khas-nya selalu diingat. Tetapi, tentu saja konsumen akan lebih mudah untuk
mengingat ciri khas es krim jika “dibumbui” dengan kenangan indah, seperti
kenangan masa kecil atau kenangan bersama mantan pacar *nah kan keceplosan
hehe* (;
Bandung, 3 Februari 2017
Labels: Feature